Langsung ke konten utama

Fuji-yama

Fuji-yama

 Kamar itu berada di loteng, di pojok ruangan. Dari pintu masuk loteng, Aku harus susah payah melewati barang-barang yang ditumpuk sekenanya untuk menuju kesana. Tempat ini lebih mirip gudang daripada kamar tempat tinggal. Lantainya terbuat dari kayu yang dilapisi karpet tipis dan usang. Tampak noda kotor disana-sini yang keliatannya sudah permanen. Stiker dindingnya terkelupas di beberapa bagian dan ditambal sekenanya dengan lakban. Jika tiba musim panas, berada disini rasanya seperti berada di oven raksasa. Pengapnya luar biasa. Atap seng hanya berjarak satu meter di atas kepalaku. Berada di bawahnya kepalaku berdenyut-denyut seperti mau meledak. Ketika tiba musim dingin, tikus-tikus berdatangan mencari kehangatan, menyelip, sembunyi dibalik barang-barang tadi sambil sibuk beranak-pinak. Banyak sekali jumlahnya. Aku pernah tidak sengaja memergoki mereka sedang berbuat tak senonoh dengan santainya tanpa takut akan kehadiranku. Sungguh binatang jalang. Kabel-kabel besar centang perenang di langit-langit, berjuntai-juntai saling mengait, membentuk jalur seperti urat-urat syaraf dalam susunan tubuh manusia. Ngeri membayangkan jika salah satu kabel itu terkelupas dan aliran listrik bocor keluar, dapat dipastikan aku akan terpanggang kena sengat listrik. Fakta bahwa aku memang akan tinggal di sebuah kamar mirip gudang di salah satu perusahaan peternakan memang tak bisa dibantah. Ya, aku akan menghabiskan waktu 3 tahunku bersama barang-barang rongsokan ini. Tetapi dalam pada itu, entah kenapa aku merasa sangat nyaman berada di sini, dengan segala ketidak beraturan ini.

 Pada bagian samping bangunan ini terdapat beranda kecil tempat menjemur pakaian. Tepat di samping pintu keluar ke beranda tersebut ada sebuah dapur kecil.  Dapur yang sama usangnya dengan kamar ku. Perabotnya hanya sedikit. Semuanya adalah peninggalan dari orang-orang yang pernah mendiami tempat ini. Dindingnya ditempeli gambar-gambar yang menampilkan perempuan berpakaian ala kadarnya. Aku tak mengerti apa maksudnya, dan tak bisa menemukan alasan kenapa gambar-gambar seperti ini ditempel di dapur.

“Memang dengan menatap gambar perempuan berbikini bisa menambah nafsu makan?” Batinku.

Setelahnya malah aku menjadi tidak nyaman, gambar-gambar itu seperti menatap ku lekat-lekat dengan pandangan menggoda ketika aku sedang makan, dan bukannya membangkitkan nafsu makanku malah nafsu yang lain yang bangkit. Akhirnya aku lepas semua posternya dan membuangnya ke tempat sampah.

“sayounara, onee-san tachi! Aku akan menggantikan kalian dengan gambar takoyaki”

  Di dapur itu terdapat sebuah jendela geser besar. Satu-satunya hal yang istimewa dari tempat ini. Yang jika dibuka akan menyuguhkan pemandangan menakjubkan bak lukisan seorang maestro. Sesosok raksasa berdiri dengan angkuh tidak peduli dengan berpasang mata yang kagum melihat keindahannya. Ia adalah Fuji, gunung tertinggi di wilayah itu. Dengan atap berlapis salju yang jika senja tiba keliatan seperti sebongkah eskrim raksasa dengan toping stroberi di atasnya. Kadang ia berwarna jingga, lain hari warnanya berubah menjadi merah jambu atau ungu. Aku betah berlama-lama disitu, memandanginya hingga larut malam sambil membaca buku atau minum kopi. Semua hal mengenai gunung ini selalu menarik perhatianku. Suatu hari, ketika sedang melihat-lihat majalah bekas yang tergeletak di kantor kerja, pada kolom pariwisata aku menemukan sebuah artikel yang membahas tentang gunung Fuji.

“Berdiri pada ketinggian 3.776 meter, Gunung Fuji adalah puncak tertinggi di Jepang, akibat aktivitas gunung berapi yang telah dimulai sekitar 100.000 tahun yang lalu. Kini Gunung Fuji dan area sekitarnya merupakan destinasi rekreasi yang populer untuk mendaki, berkemah, dan bersantai”. Demi membaca kata mendaki, aku mulai bersemangat. Aku menyukai kegiatan mendaki gunung, dan Gunung Fuji adalah satu gunung yang inginku takhlukkan.

“Sebagai salah satu simbol paling populer negara Jepang, para pelancong dari seluruh belahan dunia mengunjungi perfektur Shizuoka dan Yamanashi untuk melihat sekilas pemandangan menawan gunung ini. Namun demikian, bagi orang Jepang Gunung Fuji telah lama merupakan situs dengan makna spiritual dan sumber inspirasi seni”.

Tiba-tiba aku teringat perkataan Kojima-san. Dia pernah bercerita mengenai asal-usul Gunung Fuji kenapa bisa menjadi gunung tertinggi di Jepang. Entah saat itu dia sedang menjahiliku atau memang cerita itu ada dan bukan hasil karangannya, yang pasti Kojima-san pernah bercerita bahwa pada zaman dahulu Gunung Fuji pernah berseteru dengan tetangganya, yaitu Gunung Yatsugatake. Mereka bertengkar mengenai siapa yang paling dekat dengan langit.

“Pertengkaran itu berlangsung lama dan menyebabkan bencana yang sangat dahsyat”. Tutur Kojima.

Hingga pada akhirnya pertengkaran itu dimenangkan oleh Gunung Fuji. Gunung Yatsugatake menderita kekalahan dengan kehilangan separo dari ketinggiannya. Kurang lebih ceritanya seperti itu. Tentu saja aku tidak mempercayainya karena memang hanya mitos belaka.

original photo by Alfilosography

“Selama ratusan tahun, orang Jepang telah menjalin ikatan spiritual dengan gunung. Menurut legenda, pertapa saleh yang termashyur, Hasegawa Kokugyo (1541-1646) mendaki hingga ke puncak gunung ini hingga lebih dari 100 kali. Pencapaiannya ini menyebabkan terbentuknya Fuji-ko, sebuah kelompok yang serupa dengan pemuja Gunung Fuji. Sekte ini membangun kuil, membuat monumen batu, dan berpuasa untuk menunjukan dedikasi mereka. Kefanatikan mereka pada akhirnya menyebabkan Keshogunan Tokugawa melarang agama ini, namun meskipun demikian tradisi pemujaan gunung yang telah lama ada di Jepang memastikan bahwa gunung tetap dipuja dan dihormati sebagai situs dengan makna spiritual”.

100 kali mendaki Gunung Fuji? Woww!! Bisa dibayangkan pada tahun tersebut kesulitannya seperti apa. Benar-benar hamba yang fanatik.

“Diperkirakan hingga 300.000 orang mendaki Gunung Fuji setiap musim panas. Empat jalur utama memberikan pendekatan berbeda menuju puncaknya. Sebagian besar pendaki mengatur waktu perjalanan mereka agar jatuh bersamaan dengan matahari terbit. Dengan mendaki pada dini hari, kita dapat menyaksikan matahari mulai terbit di seluruh penjuru cakrawala dari puncak gunung. Pada zaman dahulu, Gunung Fuji merupakan destinasi bagi para biksu untuk menjalani pelatihan dan bahkan penduduk kelas bawah diketahui melakukan ziarah ke tempat ini. Banyaknya kuil di kaki gunung merupakan bukti bahwa Gunung Fuji memiliki makna spiritual dan sejarah”.

original photo by Alfilosography

Pada paragraf selanjutnya artikel ini membahas mengenai keterkaitan Gunung Fuji dan budaya Jepang.

“Gambar Gunung Fuji yang paling populer dari zaman Edo (1603-1867) adalah serangkaian karya Ando Hiroshige, seniman cetak balok kayu, Ia menggambarkan Gunung ini dari beragam titik sudut pandang. Memberikan gambaran sekilas pada semua orang dari seluruh dunia tentang wilayah ini. Demikian pula dengan cetak balok kayu karya Katsushika Hokusai yang dikenal memengaruhi seniman barat seperti Van Gogh, dan bahkan memberikan dampak pada pengubah musik, Claude Debussy. Pemandangan menawan Gunung Fuji yang dipopulerkan pada zaman Edo membantu mengukuhkan warisan gunung ini sebagai atraksin kelas dunia”.

Aku adalah penggemar Ukiyo-e, seni rupa kuno Jepang, dan salah satu seniman favoritku adalah Katsushika Hokusai. Aku mengoleksi beberapa karyanya dalam bentuk baju, post-card, dan hiasan dinding. Karya Hokusai kebanyakan menggambarkan pemandangan yang dilatari Gunung Fuji.

“Gunung Fuji terakhir meletus pada tahun 1707 berlangsung selama 16 hari. Abu vulkanik yang disemburkan menjangkau Tokyo. Aktivitas vulkanik juga menyebabkan terciptanya Hoeizan (salah satu puncak Gunung Fuji), lima danau di kaki gunung, dan sangat banyak gua dekat Hutan Aokigahara. Area ini juga dianigerahi dengan banyak mata air panas yang kaya akan mineral, menjadikan wilayah ini surga untuk rekreasi dan bersantai”.

Artikel yang sangat menarik. Timbul di benakku keinginan untuk mendaki Gunung Fuji bulan depan. Kebetulan saat ini bulan juli, musim semi mendekati akhir dan sebentar lagi musim panas akan datang.

Setelah membolak-balik halaman majalah itu dan tidak menemukan hal yang menarik selain artikel tadi, aku memutuskan untuk kembali ke loteng. Aku menuju dapur, duduk di dekat jendela, dan sekali lagi memandangi keindahan Gunung Fuji yang agung itu hingga larut malam.

Postingan populer dari blog ini

Jepang dan Paus

Apa yang akan terjadi jika tanpa paus? Akankah kehidupan laut mati? Berdampak buruk bagi lingkungan kita? Ada banyak pertanyaan tentang apa akibat dari ketiadaan paus. Orang-orang telah berburu paus sejak lama. Para peneliti mengatakan bahwa paus adalah rantai makanan, penting Untuk mamalia laut dan lingkungan. Perburuan paus dikenal dengan istilah Whaling . Aktivis anti perburuan paus diciptakan untuk melindungi paus dan menghentikan perburuan paus secara komersial. Aktivis anti perburuan paus telah melarang perburuan paus karena kekejaman, risiko kepunahan paus dan pentingnya paus bagi lingkungan. Pada tahun 2019 Jepang mengumumkan pengunduran dirinya dari International Whaling Commission , atau IWC, lembaga yang bertanggung jawab atas konservasi paus dunia. Jepang terdaftar sebagai anggota IWC sejak 1951. Tetapi, selama bertahun-tahun Jepang tetap memburu paus dengan alasan "untuk penelitian ilmiah". Tetapi Jepang juga menjual daging ikan paus, sebuah langkah yang dikritik...

Romantisme Kesehatan Mental

 Romantisme Kesehatan Mental   Selama dekade terakhir, berbagai upaya telah diinvestasikan dalam menyebarkan kesadaran terkait kesehatan mental. Upaya tersebut terutama ditujukan untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap penyandang gangguan kesehatan jiwa. Pesan utama yang disebarluaskan adalah bahwa penyakit mental harus dianggap sebagai penyakit umum dan bahwa diskriminasi atau pengucilan dan apa pun yang menyertainya dapat mempengaruhi penderita. Penyakit mental didefinisikan sebagai suatu kondisi yang menyebabkan gangguan dalam pikiran atau perasaan seseorang. Sudah disepakati bahwa kesehatan mental harus ditangani dengan hati-hati dan dilakukan oleh seorang profesional. Sesukses apa pun mereka dalam kampanye ini, masih dianggap gagal menilai satu faktor hidup yang menjadi vital yaitu peran media. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji peran media sosial yang dewasa ini dipraktekan dalam bentuk perbuatan yang cenderung berdampak buruk bagi pelakunya. Bahwa menekankan...

武田信玄祭り

  TAKEDA SHINGEN MATSURI        Takeda Shingen Matsuri, atau dalam bahasa indonesia Festival Takeda Shingen, adalah salah satu event atau perayaan terbesar di Jepang yang di gelar di perfektur Yamanashi. Festival ini biasanya di adakan di minggu pertama bulan april untuk mengenang warisan daimyo Takeda Shingen di Kofu, ibukota Yamanashi. Festival ini berlangsung selama 3 hari, pada hari jumat, sabtu, dan minggu. Festival ini mempunyai makna filosofi yang mendalam bagi masyarakat Yamanashi. Zaman dulu wilayah ini di kenal dengan nama Kai no kuni atau negeri Kai. Yang penguasanya adalah Takeda Shingen. Takeda Shingen adalah sosok samurai kuat pada zaman akhir sengoku . Ia terkenal akan keberaniannya yang membuat Takeda Shingen di kagumi oleh kawan maupun lawannya. Shingen memiliki persaingan legendaris dalam perebutan wilayah dengan Uesugi Kenshin dan mereka bertempur dalam lima pertempuran selama pertempuran Kawanakajima . Dalam festival ini kedahsyatan perte...