Langsung ke konten utama

Dilema Bersosial

 

Dilema sosial

  Media sosial dewasa ini menjadi sebuah medium yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Media sosial telah membentuk sebuah ruang bagi kita untuk menjalin sebuah interaksi semu antara kita, media pengekspresian diri, membentuk identitas diri, dan memahami dunia. Media sosial adalah salah satu wujud representasi dari kemajuan teknologi yang telah di kembangkan oleh umat manusia. Saat ini mudah melupakan fakta bahwa alat ini telah menciptakan hal-hal indah di dunia. Seperti mempertemukan orang yang telah lama berpisah, membantu menemukan donor organ, dll. Terdapat perubahan sistematik yang dihasilkan dari platform positif ini. Tapi kita terkadang terlalu naif dengan melupakan sisi lain koin ini. Kita bisa lihat di tempat-tempat berkumpul antara sanak family, teman atau semacamnya. Di tempat yang seharusnya kita dapat menjalin interaksi secara langsung antar individu tanpa dipisahkan oleh jarak, tetapi pemandangan yang kerap kita saksikan adalah setiap orang akan sibuk menatap layar mereka dan seakan melupakan sekelilingnya. Apa ini normal? Facebook, Instagram, Snapchat, Tik-tok, Twitter, Youtube, dll. Bersaing memperebutkan kita untuk terus memperhatikan layar gawai kita. Mereka mencuri momen hidup kita. Mencuri perhatian kita.

original photo by Alfilosography


Di amerika, meski mengalami lonjakan kritik, perusahaan teknologi besar makin berkembang. Seluruh industri berada ditingkat penguasa yang baru. Beberapa studi mengaitkan antara kesehatan mental dengan penggunaan media sosial. Isu-isu seputar dampak negatif penggunaan media sosial mulai di angkat ke publik. Kita telah berubah dari era informasi menjadi era disinformasi. Berita hoax menyebar menjadi lebih cepat.

“Kurasa alat yang telah kita ciptakan ini mulai mengikis struktur sosial dari cara kerja masyarakat. Aku ingin semua orang tahu bahwa semua yang mereka lakukan di internet telah diawasi, di lacak, diukur, di pantau, dan di rekam dengan hati-hati”. Kata Jeff Seibert, mantan eksekutif Twitter.

Saat memikirkan bagaimana perusahaan-perusahaan ini bekerja, semuanya menjadi masuk akal. Ketika berpikir bahwa banyak layanan di internet yang kita anggap dapat diakses secara gratis. Namun sebenarnya itu tidak gratis. Semua itu dibayar dengan iklan. Menurutmu bagaimana pengiklan membayar perusahaan itu? Jawabanya adalah perusahaan teknologi menampilkan iklan kepada kita sebagai pengguna. Perhatian kita lah yang dijual kepada pihak pengiklan. Kitalah produknya. Kita produk dari perusahaan-perusahaan teknologi itu.

“Entah kamu adalah seorang introvert atau ekstrovert, atau apapun jenis neurosis yang kamu punya. Mereka tahu. Mereka punya lebih banyak informasi mengenai kita daripada apa yang dapat kita banyangkan. Dari data yang mereka dapat, mereka akan membuat model menyerupaimu. Memprediksi setiap apa yang akan kamu lakukan”.  Kata Sandy Parakilas, mantan manajer operasional Facebook dan Uber.

Kita secara tidak sadar telah menciptakan dunia dimana daring adalah sesuatu yang utama. Khususnya bagi generasi muda. Namun di dunia itu, dimana setiap dua orang terhubung, telah didanai oleh orang ketiga yang licik (pengiklan) yang membayar untuk memanipulasi kedua orang itu. Jadi kita telah menciptakan seluruh generasi global yang memahami bahwa makna dari komunikasi dan budaya adalah manipulasi.

original photo by Alfilosography


“Ada tiga tujuan utama di banyak perusahaan berbasis teknologi. Yang pertama adalah tujuan untuk menaikkan frekuensi penggunaan kita, agar kita tetap menggulirkan layar. Yang kedua, tujuan pertumbuhan, yang mempengaruhi kita untuk mengundang lebih banyak teman. Yang ketiga adalah tujuan pengiklanan. Untuk memastikan bahwa seiring semuanya itu terjadi, mereka menghasilkan sebanyak mungkin uang dari iklan. Masing-masing dari tujuan ini ditenagai oleh algoritma yang bertugas mencari tahu apa yang terus ditunjukkan agar jumlahnya tetap naik”. Kata Tristan Harris, mantan pakar etika desain Google.

Perusahaan seperti Facebook atau Google membuat eksperimen-eksperimen kecil kepada para penggunannya. Seiring waktu dengan terus melakukan eksperimen itu mereka mengembangkan cara paling maksimal untuk membuat  pengguna melakukan apa yang mereka mau. Itu adalah manipulasi. Apa kita seperti kelinci percobaan? Ya, kita semua adalah kelinci percobaan. Namun, ini bukan percobaan seperti dalam pembuatan obat kangker atau semacamnya. Mereka bukan mencoba memperalat kita. Kita hanyalah zombie, dan mereka ingin kita melihat lebih banyak iklan agar mereka mendapat lebih banyak keuntungan.

Ketika teknologi sepeda ditemukan, tidak ada yang marah akan hal itu. Ketika semua orang beralih menggunakan sepeda tidak ada yang bilang,”Ohh ya Tuhan, kita baru saja merusak tatanan masyarakat, sepeda telah mempengaruhi orang-orang dan mulai menjauhkan orang tua dari anak-anak mereka, merusak struktur demokrasi, mengubah informasi menjadi bias, dll”. Kita tak ada yang berpikir demikian. Jika sesuatu itu adalah alat, ia hanya akan duduk diam di sana dan menunggu dengan sabar. Jika sesuatu itu bukanlah alat, ia menuntut sesuatu darimu, merayu, memanipulasi, dan menginginkan sesuatu darimu. Kita telah beralih dari lingkungan teknologi berbasis alat ke lingkungan teknologi berbasis kecanduan dan manipulasi. Media sosial bukan alat yang menunggu untuk digunakan. Ia memiliki tujuan dan caranya sendiri untuk memperolehnya. Menggunakan psikologimu untuk melawan dirimu sendiri.

original photo by Alfilosography


“Hanya ada dua industri yang menyebut pelanggan mereka sebagai ‘pengguna’, yaitu industri narkoba dan industri software”. Edward Tufte.

“Ada bentuk keironian dalam kehidupanku berkaitan dengan media sosial. Waktu itu aku baru saja pulang bekerja dan tak bisa menjauhi ponselku begitu tiba di rumah. Meski aku memiliki dua anak yang membutuhkan kasih sayang dan perhatianku. Aku berada di dapur dan mulai mengetik surel. Aku sesekali melihat Pinterest. Aku bekerja di siang hari dan membangun sesuatu yang kemudian memanipulasiku. Rasanya menakutkan, meski aku tahu apa yang terjadi di balik layar, tetapi aku masih tak bisa mengendalikan penggunaanku terhadap media sosial”. Tim Kendall, mantan eksekutif Facebook dan mantan presdien Pinterest.

Media sosial adalah narkoba. Kita punya perintah biologi dasar untuk terus terhubung dengan orang lain. Hal ini secara langsung mempengaruhi pelepasan dopamin dalam jalur kenikmatan. Jutaan tahun evolusi berada di balik sistem itu untuk membuat kita berkumpul, menunjukan eksistensi dalam komunitas, mencari pasangan dan menyebarkan spesies kita. Jadi tidak diragukan lagi media sosial yang berperan mengoptimalkan hubungan antar manusia ini akan memiliki potensi kecanduan.

“Aku mencemaskan anak-anakku, jika kamu punya anak, aku juga mencemaskan anak-anakmu. Dengan semua pengetahuan dan pengalaman yang aku miliki, aku mendebat anak-anakku soal berapa lama waktu yang mereka habiskan pada ponsel dan komputer mereka. Mereka akan menjawab, ‘maksimal 30 menit’. Setiap hari aku mengingatkan mereka tentang keseimbangan perasaan suka dan duka, kondisi kekurangan dopamin, dan resiko kecanduan”. Kata Dr. Anna Lambke, Direktur fakultas kedokteran universitas Stanford.

Kita menyesuaikan hidup kita mengikuti pandangan standar penilaian kesempurnaan semu. Ketika kita mengupload sesuatu ke media sosial kita akan mendapat imbalan dalam sinyal jangka pendek berupa ikon hati, suka, atau jempol. Lalu kita mempersepsikan itu semua sebagai sebuah nilai dan kebenaran yang nyata. Alih-alih menganggapnya sebagai sesuatu yang semu, seperti popularitas palsu dan rapuh, yang hanya sesaat. Menjadi lebih buruk karena hal ini membuat kita kecanduan. Dan akuilah, kita merasa hampa ketika kita tak mendapatkan apa yang kita harapkan dari setiap kesemuan ini. Hal ini akan menjerumuskan kita kepada lingkaran ganas yang membuat kita mengatakan,”Apa yang akan ku perbuat setelah ini? Karena aku butuh semua perhatian itu”. Bayangkan hal seperti ini dilakukan oleh dua miliar orang lainnya, lalu bayangkan reaksi orang terhadap orang lain. Ini benar-benar sesuatu yang buruk.

original photo by Alfilosography


Media sosial juga berperan dalam meningkatnya polarisasi politik di Amerika Serikat. Bahkan Facebook, salah satu media yang digunakan sebagai kampanye mendapat tuntutan hukum karena dituduh melakukan penyalahgunaan data yang berimbas ke hasil pemilu tahun 2016. Tingkat kebencian di masyarakat meningkat yang terkadang hanya disebabkan oleh informasi-informasi yang dipertanyakan keabsahannya. Ada studi yang menyebutkan, di Twitter informasi hoaks menyebar enam kali lebih cepat dari berita sebenarnya. Dapat dibayangkan, dunia seperti apa itu yang salah satu informasinya menyebar enam kali lebih cepat daripada yang lainnya.

Kita melatih mengondisikan satu generasi orang baru yang selalu merasa tak nyaman, kesepian, merasa tak pasti, atau takut. Dan menjadikan media sosial sebagai penawar satu-satunya. Menghentikan kemampuan kita menghadapi masalah-masalah tersebut, sehingga proses alami dari pengobatan itu hilang dari urutan-urutan yang seharusnya dilewati.

Kita menciptakan sistem berprasangka terhadap informasi palsu. Bukan karena kita mau, tapi karena informasi palsu memberi semua perusahaan itu lebih banyak mendapatkan keuntungan daripada menyebarkan berita yang benar. Karena kebenaran itu mesmbosankan. Ini adalah model bisnis yang mencari profit dari informasi. Media sosial membuat desas-desus eksponensial hingga kita tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang hoaks.

Perlombaan menarik perhatian orang tidak akan pernah hilang. Teknologi kita menjadi semakin menyatu dengan kehidupan kita. Kecerdasan buatan akan menjadi lebih mahir memprediksi hal yang membuat kita melihat layar.

“Kurasa aku hanya optimistis. Karena kurasa kita bisa mengubah rupa dan arti media sosial. Cara kerja teknologi bukan hukum fisika. Tidak mustahil untuk diubah. Ini adalah pilhan yang dibuat oleh manusia sepertiku selama ini. Manusia bisa mengubah teknologi itu”. Kata Justin Ronsenstein, mantan enginer Facebook dan Google.

“Kita telah membangun ini dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Model bisnis ekstraksi perhatian bukanlah cara yang baik memperlakukan manusia. kita bisa menuntut produk ini untuk dirancang secara lebih manusiawi. Kita bisa menuntut untuk tidak di perlakukan sebagai sumber daya yang bisa di ekstraksi. Tujuannya mungkin bisa berupa bagaimana cara membuat dunia menjadi lebih baik”. Imbuh Tristan Harris.

original photo by Alfilosography


Lalu bagaimana kita membentengi diri dari semua kegilaan ini? Beberapa cara bisa kita lakukan seperti mematikan notifikasi setiap aplikasi yang terdapat di ponsel kita. Mematikan apapun yang berpotensi mengalihkan perhatiaanmu, yang membuat kakimu beregetar. Atau mulai memilah aplikasi mana yang tidak terlalu dibutuhkan dan hanya membuang waktu, lalu mulai menghapusnya. Bentuk perlawanan yang lain adalah jangan pernah menerima video rekomendasi dari Youtube. Selalu usahakan kita yang meng-klik. Pastikan kita mendapat informasi yang memang kita butuhkan. Selalu pahami masalah dari dua sudut pandang untuk menentukan pengambilan keputusan.

“Dengar! Aku tahu betul aku tak akan mampu membuat semua orang menghapus akun media sosialnya mereka. tapi kurasa ada beberapa orang dan membuat beberapa orang menghapus akun mereka. Itu sangat penting. Alasannya adalah menciptakan lebih banyak ruang percakapan. Karena aku ingin ada cukup banyak di masyarakat yang bebas dari mesin manipulasi ini untuk melakukan percakapan sosial. Jadi, lakukanlah! Keluar dari sistem. Ya, hapuslah! Lepaskan benda bodoh itu! Dunia ini indah, lihat! Di luar sana bagus”. Jaron Lanier, pendiri Virtua Reality Computer Scientist.

 

Source : The social dilema.

Note : Tulisan ini saya tulis terinpirasi dari film dokumenter berjudul The Social Dilemma. Ada banyak kalimat yang saya pinjam dari film itu lalu saya tuliskan di sini. Saya berharap apa yang saya bagikan lewat tulisan ini mampu menggugah cara berpikir lebih banyak orang tentang arti sesungguhnya bersosialisasi.

Postingan populer dari blog ini

Pesona Tradisi Festival Es Jepang Yang Memukau

                      “Pesona Tradisi Festival Es Jepang Yang Memukau”                                         Nailin Najwa: Prodi Pendidikan Bahasa Jepang                                                                 20  Desember 2023 10.00 WIB     Yogyakarta-   Festival Salju Sapporo adalah festival musim dingin yang diadakan di Sapporo, Hokkaido, Jepang setiap tahun yang berlangsung selama seminggu setiap bulan februari. Festival ini menampilkan berbagai macam patung dan instalasi seni yang terbuat dari salju dan es. Sapporo Snow Festival 2024 rencananya akan berlangsung delapan hari dari 4 Februari (Minggu) sampai dengan 11 Februari (Minggu, hari libur), 2024 (Peringatan ke-74). Festival ini pertama kali diadakan pada tahun 1950 oleh siswa sekolah menengah lokal. Sejak itu, festival ini telah berkembang menjadi salah satu festival musim dingin paling popular di dunia. Setiap tahunnya, sekitar dua juta wisatawan dari dalam negeri dan luar negeri berkunjung ke Sapporo selama berla

Menyingkap Inti dari Ramadan: Tradisi Berbagi Takjil yang Tak Lekang oleh Waktu dalam Budaya Indonesia

       Menyingkap Inti dari Ramadan: Tradisi             Berbagi Takjil yang Tak Lekang oleh                Waktu dalam Budaya Indonesia           Oleh : Nailin Najwa Nafisa Rahman. Selama bulan Ramadhan 1445 H, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) membagikan sebanyak 3500 paket takjil makanan nasi box dan minum gratis kepada para mahasiswa. (Sumber: www.tvonenews.com) Ramadan di Indonesia muncul sebagai sebuah mosaik yang penuh warna dari berbagai budaya dan tradisi, yang terjalin secara rumit ke dalam jalinan permadani budaya bangsa. Di antara tradisi-tradisi yang dihargai ini, kegiatan membagikan takjil - makanan ringan atau kurma untuk berbuka puasa - berdiri sebagai mercusuar solidaritas komunal dan penghormatan spiritual. Dalam penjelajahan ini, kita akan menelusuri berbagai makna, evolusi sejarah, dan signifikansi abadi dari praktik yang tak lekang oleh waktu ini. Dari Asal Mula yang Sederhana hingga Menjadi Budaya: Memulai pengembaraan sejarah, kami menggali akar takjil d

Jangan Terkecoh! Memahami Perbedaan Quick Count, Exit Poll, dan Real Count

  Gambar pemilu 2024 Sumber : https://harian.disway.id/ Setelah pemilu 2024 membawa gelombang informasi tentang hasil suara. Tetapi, apakah semua informasi itu dapat dipercaya? Penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara Quick Count, Exit Poll, dan Real Count agar tidak terperangkap dalam kesimpulan yang keliru.   1. Menyajikan dengan Cepat:   Quick Count: Memberikan gambaran awal hasil pemilu dengan cepat meskipun tidak resmi. Dilakukan oleh lembaga survei dengan metode hitung cepat di Tempat Pemungutan Suara (TPS). -Exit Poll: Memahami kecenderungan pemilih dengan melakukan survei setelah mereka keluar dari TPS. Meskipun cepat, keakuratannya tidak sebagus Quick Count karena dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti waktu dan lokasi. - Real Count: Menghasilkan data resmi perolehan suara yang sah dan mengikat. Dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di seluruh TPS, sehingga memakan waktu lebih lama karena prosesnya yang teliti.   2. Tingkat Keakuratan dan Legalitas: - Quick