Teru
Teru Bozu
Belakangan ini mentari berjalan begitu
lambat. Merangkaki angkasa inci demi inci. Lambat ya lambat. Seperti
ogah-ogahan menyeberangi birunya langit. Tak peduli dengan jarak yang ditempuhnya. Mendung sering begantung tipis di langit, segan menjatuhkan gerimis
barang sesapuan. Suasana menjadi kelabu seakan-akan dunia telah kehilangan
warna-warninya. Orang-orang tua melalui dongengan mengajarkan kepada
anak-anaknya mengenai adanya Teru Teru Bozu, sebuah boneka buatan yang di
percaya dapat menangkal datangnya sang hujan. Barangkali apa yang terjadi belakangan
ini adalah sebab yang ditimbulkan dari boneka itu, yang ku gantung sedari kepergian
mu. Aku tertarik dan mencoba membuat boneka ini, sedikit akan kuceritakan
mengenai Teru Teru Bozu.
![]() |
original photo by Alfilosography |
“Teru Teru Bozu, merujuk dari bahasa asal legenda
boneka ini yaitu jepang, Teru (照 る),
yang berarti (bersinar) dan bozu (坊 主),
merujuk pada seorang pendeta Buddha (atau seseorang yang botak), kekuatan magis
seorang pendeta (secara harfiah: bersinar, biksu yang bersinar) untuk mencegah
hujan. Secara khusus, Teru Teru Bozu sangat populer di kalangan anak-anak
Jepang dan pertama kali diperkenalkan kepada mereka di taman kanak-kanak atau
tempat penitipan anak. Melalui sajak anak-anak nyanyian Teru Teru Bozu yang
indah namun sedikit menyeramkan di ciptakan pada tahun 1921. Sajak Teru Teru
Bozu menyerukan untuk membawa kembali hari-hari yang cerah, menjanjikan bahwa
jika keinginan itu terpenuhi, banyak kebaikan akan dikabulkan, dan jika tidak,
lehernya akan dipotong.” Begitulah informasi yang ku dapat. Isi sajak itu
seperti ini.
Teru
teru bozu teru bozu
Ashita
tenki ni shite okure
Itsuka
no yume no sora no you ni
Haretara
kin no suzu ageyo
Teru-teru-bōzu,
teru bōzu
Ashita
tenki ni shite o-kure
Watashi
no negai wo kiita nara
Amai
o-sake wo tanto nomasho
Teru-teru-bōzu,
teru bōzu
Ashita
tenki ni shite o-kure
Sorete
mo kumotte naitetara
Sonata
no kubi wo chon to kiru zo
Artinnya
dalam bahasa indonesia adalah.
Biksu
biksu botak, biksu botak.
Buatlah
esok hari menjadi cerah untukku
Seperti
mimpiku pada suatu waktu
Jika
cerah, kuberi kamu bel emas.
Biksu
biksu botak, biksu botak.
Buatlah
esok hari menjadi cerah untukku
Kabulkan
keinginanku
Lalu
kita minum sake
Biksu
biksu botak, biksu botak.
Buatlah
esok hari menjadi cerah untukku
Kalau
mendung dan kamu nangis (baca: hujan)
Kan
kupotong kepalamu.
Kyoson Asahara, 1921
original photo by Alfilosography
“Kasihan
sang biksu”. Pikirku.
Hanya
karena ia menjanjikan ketidak pastian kepada semua orang ia harus kehilangan
kepalanya. Ketidak pastian itu adalah sesuatu yang sebenarnya di luar
kendalinya. Ketidak pastian yang di niatkan secara baik tapi menghasilkan hal
sebaliknya. Tetiba perasaan menyesal menggerayangi ulu hati.
“Seharusnya
tak ku baca saja kisah ini tadi.” Desah ku.
Sang
biksu mengingatkan akan semuanya, mengingatkan akan semua kesalahan yang telah
kuperbuat. Dan sekarang, lihat, ini lah hukum penggal kepala itu. Sungguh
menyedihkan. Lalu...
“...boneka
tradisional Jepang ini terbuat dari kertas atau kain putih yang digantung di
tepi jendela dengan menggunakan benang. Dari segi bentuk dan pembuatannya,
boneka tersebut mirip dengan boneka hantu seperti yang dibuat pada saat
Halloween. Teru teru bozu menjadi populer selama zaman Edo di antara masyarakat
urban, di mana anak-anak membuatnya untuk memohon cuaca baik sehari sebelumnya
dan bernyanyi ‘pendeta cuaca baik, cerahkan cuaca esok hari.’ Secara
tradisonal, jika cuaca berubah cerah, mereka akan digambari mata (bandingkan
dengan daruma), sesajen berupa sake suci (神酒)
dituangkan pada mereka, kemudian dihanyutkan di sungai. Di masa kini, anak-anak
membuat Teru Teru Bozu dari kertas tisu atau kapas dan benang lalu
menggantungnya di jendela ketika mengharapkan hari yang cerah, seringkali
sebelum hari piknik sekolah.”
![]() |
original photo by Alfilosography |
Aku
tak yakin ini adalah keputusan yang tepat dengan mengajarkan hal seperti ini
kepada anak-anak. Apa yang dipikirkan orang Jepang waktu itu membuatku
sedikit penasaran. Sedangkan beberapa informasi mengatakan asal-usul dari
legenda Teru Teru Bozu ini.
“Ada
banyak legenda di balik asal-usul boneka lucu ini, tapi beberapa di antaranya
cukup menakutkan. Salah satu kisah Teru Teru Bozu adalah kematian tragis 'Biksu Cuaca Baik' di Jepang masa feodalisme. Biksu tersebut telah
berjanji pada sebuah desa yang dilanda oleh hujan terus-menerus, ia akan
menghentikan cuaca yang buruk dan menyelamatkan tanah pertanian. Tetapi hujan
terus berlanjut dan tuan tanah yang marah memerintahkan pemenggalan kepala
biksu itu dan kemudian membungkus kepalanya dengan kain putih serta
menggantungnya untuk mengharapkan cuaca yang baik.”
“Apa-apaan
ini?”. Pekikku
Semuanya
malah menjadi semakin tak karuan. Bukankah niat awal aku membuat boneka ini
demi menghilangkan kesedihan yang di sebabkan oleh hujan? Supaya matahari
datang kembali menghadirkan rasa hangat dan memekarkan bunga-bunga? Tapi malah berakhir semakin deras. Kisah sang
biksu sama menyedihkannya dengan pria yang iseng-iseng menulis tulisan ini.
Bedanya adalah sang biksu kehilangan nyawanya dan si pria iseng kehilangan
perasaannya. Tragis.
Segera
aku ambil boneka menyedihkan itu dan ku hanyutkan ke sungai dekat rumah.
“Selamat
jalan kesedihan, semoga lekas kembali cerah”.