Yogyakarta
- Duta bahasa adalah salah satu event yang di selenggarakan oleh Fakultas
Pendidikan Bahasa (FPB) Universitas Muhamammadiyah Yogyakarta (UMY). Event ini
ditujukan untuk menyaring generasi-generasi mahasiswa FPB yang peduli dengan
kebahasaan. Pada event tahun ini salah satu mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa
Jepang (PBJ), Muhammad Indra Syaputra (Rasya) menyabet gelar juara satu. Ini tentu
saja menjadi kebanggaan bagi prodi PBJ yang dalam beberapa waktu terakhir nihil
prestasi. Berikut wawancara singkatku dengan Muhammad Indra Syaputra (Rasya) di
salah satu warmindo dekat UMY. Sebelumnya aku penasaran dengan apa itu Duta
Bahasa, lalu pemuda asal Jepara ini dengan sangat semangat menceritakan apa itu
Duta Bahasa.
“Duta Bahasa itu adalah generasi muda yang bertugas untuk
mensosialisikan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu
sebagai Duta Bahasa aku juga diberi tanggung jawab untuk melestarikan bahasa
daerah dan menguasai berbagai Bahasa Asing”.
Sebagaimana gelar yang di sematkan di dalamnya yaitu “Duta”, Duta
Bahasa ternyata memang tugas utamanya adalah memperkenalkan bahasa. Dan aku baru
tahu jika itu tidak hanya mencakup Bahasa Indonesia saja, melainkan Bahasa Daerah
juga termasuk di dalamnya, bahkan Bahasa Asing. Lalu aku bertanya kepada Rasya
kenapa bahasa daerah seperti Bahasa Jawa perlu di lestarikan dari sekarang? Bukankah
menurut penelitian Bahasa Jawa termasuk kedalam bahasa yang paling banyak
penuturnya di dunia? . Lalu Ia memberikan jawaban yang membuatku begidik.
“Aku pernah baca di salah satu artikel yang memuat pernyataan
dari Sri Sultan, kata Beliau, menurut penelitian dalam kurun waktu 75 tahun
kedepan Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang di khawatirkan akan punah, nah
demi mencegah hal tersebut, salah satu langkah kecil yang di hadirkan melalui event
ini adalah mencegah kepunahan Bahasa Jawa, dengan aku sebagai motor penggerak
kampanye pelestarian Bahasa Daerah khususnya Bahasa Jawa”.
Bisa anda bayangkan Bahasa Jawa punah? Aku sebagai orang Jawa
sedikitpun tidak pernah membayangkan hal tersebut terjadi. Orang Jawa tidak
bercakap-cakap pakai Bahasa Jawa? Identitas semacam apa yang bisa di sematkan
jikalau hal ini benar terjadi?
“Makanya berbanggalah menggunakan bahasa jawa! Terutama Bahasa
Jawa halus. Bahasa Jawa adalah salah satu high culture, budaya bernilai
tinggi, karena tatanan bahasanya yang kompleks dan berkasta-kasta”. Imbuh nya
Memang dewasa ini sudah jarang aku temui anak-anak muda yang
menggunakan Bahasa Jawa halus. Lebih banyak aku dengar mereka menggunakan Bahasa
Indonesia ketika berbicara dengan orang lebih dewasa demi menjaga norma
kesopanannya. Termasuk aku hehehe. Yang membuat aku malu terhadap diri
sendiri adalah ketika mengetahui kenyataan bahwa barangkali aku lebih mahir
berbahasa Jepang daripada bahasa ibuku sendiri yaitu Bahasa Jawa. Aksara Jawa? Jangan
tanya! Sudah menguap dari kepalaku lebih dari 4 tahun yang lalu. Sungguh hal
yang patut di renungkan bagi generasi-generasi muda seperti kita, tidak hanya Bahasa
Jawa tetapi juga bahasa-bahasa daerah yang lain yang mungkin kondisinya lebih
mengkhawatirkan daripada Bahasa Jawa.
Sesi selanjutnya aku bertanya mengenai perlombaan seperti apa
saja yang di pentaskan dalam event Duta Bahasa ini.
“Jadi pertama tuh, kami di berikan materi workshop mengenai
apa itu Duta Bahasa. Setelah itu di suruh untuk membuat resume mengenai Duta
Bahasa tadi. Lalu ada Gladiator of Idea, yaitu penyampaian ide atau
solusi mengenai isu permasalahan mengenai kebahasaan yang sedang terjadi. Lalu ada
lomba membaca puisi dan storry telling , aku waktu itu mebawakan cerita
asal-usul dari terciptanya Aksara Jawa. Kamu tau gak siapa pencipta Aksara
Jawa?”
Tanyanya tiba-tiba.
“Ki Hajar Dewantara”. Jawab ku sekenanya.
Sambil geleng-geleng menahan tawa, menertawai kebodohanku
tentu saja Ia memberi pencerahan.
“Salah! Namanya Aji sakha. Kisah ini berhubungan dengan
kesetiaan dua muridnya yang bertengkar hingga mati karena masing-masing mempertahankan
ideologinya untuk tetap mematuhi perintah dari Aji Sakha. Nah untuk menghormati
kesetiaan muridnya itu, Aji Sakha menuangkan ceritanya ke dalam Aksara Jawa! Hanacaraka
artinya ada utusan, datasawala artinya utusan saling bertengkar, padajayanya
artinya keduanya sama-sama sakti, lalu magabatanga artinya adalah
keduanya mati bersama”.
Owalah baru tahu aku ternyata Aksara Jawa terdapat filosofi
yang tersembunyi di dalam setiap huruf-hurufnya. Setelah hidup sebagai orang Jawa
selama 24 tahun tentu saja fakta ini membuat semua pihak tercengang. Lalu aku
bertanya kepada Rasya bagaimana perasaannya setelah di nobatkan sebagai Duta
Bahasa UMY.
“Perasaanku pertama kali yaa kaget, ga nyangka
aja bisa menang. Padahal peserta yang
lain gak kalah bagus. Apalagi cuma aku yang dari PBJ. Rasanya tuh aku
kek di keroyok sama peserta lain hahaha. Tapi secara keseluruhan
aku merasa bahagia karena setidaknya aku bisa memberi sesuatu yang bermanfaat
bagi orang-orang di sekitarku, terutama teman-teman PBJ”.
“Pertanyaan terakhir Sya! Apa kesan pesanmu kepada teman-teman
PBJ?”.
“Pesanku sih, jangan pernah takut untuk mencoba sesuatu yang
baru. Sesuatu itu bisa nampak mustahil kelihatannya, tapi ketika kita berusaha
menakhlukkannya, secara berangsur-angsur sesuatu itu terlihat masuk akal bagi kita.
Lalu jangan pada nolep! Kita ini banyak sekali ngeluhnya. Kebanyakan
nolep dan ngeluh membuat kita tidak produktif. Rugi sebagai
mahasiswa, cuma bisa jadi beban keluarga. Terakhir, yaitu selalu totalitas pada
setiap hal yang sudah kita putuskan untuk dilakukan”.
Demi
mendengar kata “beban keluarga” aku tertawa tak bisa menahan diri. Kata-kata
bernada sejenis memang sedang trend di kalangan anak muda sebagai celotehan
sarkas untuk mengkritik diri yang sama sekali tidak berguna dan hanya bisa
menyusahkan orang tua. Lalu aku terdiam, karena mendapati fakta bahwa aku
termasuk di dalamnya. Maafkan anakmu Pak, Buk!. Begitulah hasil wawancara dengan
teman kebanggan kita semua Muhammad Indra Syaputra. Penulis berdoa dan berharap
semoga muncul Rasya-Rasya yang lain dari PBJ yang membanggakan sebagai teman,
mahasiswa, maupun warga negara. Sekian.